Kamis, 24 Juni 2010

PENDAHULUAN

Salam pertanian! Pertanian di Indonesia terdapat beberapa pola tanam. Pola tanam di daerah tropis seperti di Indonesia, biasanya disusun selama 1 tahun dengan memperhatikan curah hujan (terutama pada daerah/lahan yang sepenuhnya tergantung dari hujan.
Beberapa pola tanam yang biasa diterapkan di Indonesia adalah sebagai berikut:




1. Tumpang sari (intercropping), melakukan penanaman lebih dari tanaman (umur sama atau berbeda). Contoh: tumpang sari sama umur seperti jagung dan kedelai; tumpang sari beda umur seperti jagung, ketela pohon, padi gogo.ika Anda hanya memiliki lahan yang sempit, jangan takut berharap bisa menuai hasil panen yang besar. Sekarang sudah ada resepnya. Petani di lereng Gunung Merapi membuktikan. Resep manjur itu adalah sistem tanam tumpangsari.

Sistem tanam model tumpangsari bukanlah hal baru bagi petani. Ide dasarnya adalah menanam beberapa jenis tanaman dalam satu lahan. Sistem ini mengurangi pengeluaran petani untuk biaya pengolahan lahan serta meningkatkan hasil panen berlipat ganda. Menurut, Nur Sriyanto, Sekretaris Kelompok Tani Ngudi Rejeki, Desa Sidorejo, Kemalang, Klaten, sistem tanamsari tak jauh beda dengan pengolahan lahan biasa. Namun, petani perlu menjadwal waktu tanam jenis-jenis tanaman yang akan dibudidayakan secara teliti. Sebagai contoh, petani ingin membudidayakan loncang, kol bunga atau kol bulat, sawi, dan cabe. Maka, petani perlu memahami sifat-sifat masing-masing jenis tanaman terlebih dahulu untuk membuat jadwal tanamnya.

"Setelah pengolahan lahan selesai, petani mesti menanam kol bunga dan cabe. Perlakukan dua jenis tanaman ini tidak jauh berbeda. Petani juga bisa juga menanam sawi di sepanjang tepi gulutan. Kol bunga akan bisa dipanen setelah umur dua bulan. Sementara cabe baru bisa dipanen setelah empat bulan. Sambil menunggu panen cabe, petani dalam waktu yang relatif singkat bisa memanen kol bunga dan sawi. Hasil panen kol bunga dan sawi bisa mengembalikan 50 prosen modal yang dikeluarkan petani. Setelah panen kol bunga dan sawi, kol bunga bisa diganti tanaman loncang, sementara sawi akan terus bisa dipanen secara periodikal. Loncang sekitar 2 bulan selanjutnya bisa dipanen," ujarnya.

Sembari menanam loncang, petani mulai melakukan perawatan terhadap tanaman cabe, terutama penanggulangan hama, memberi pupuk tambahan, dan penyiangan. Loncang bisa dipanen setiap saat, perawatannya juga mudah. Budidaya loncang bisa menjadi masukan harian bagi petani.

"Hasil panen jenis tanaman loncang, sawi, kol bunga, kol bulat, petani sudah dapat mengembalikan modal. Bahkan, jika harga tidak anjlog petani bisa mendapat keuntungan," lanjut Nur Sriyanto.

Dengan sistem tanam seperti tanaman cabe bisa dikatakan sebagai keuntungan petani. Berapapun harga cabe, petani tetap untung. Terlebih jika harga cabe sedang bagus, maka petani bisa memperoleh pendapatan yang sangat besar.

Untuk petani lahan kering, pengolahan lahan dilakukan pada bulan Oktober dan November. Pada bulan Desember, saat musim hujan petani mulai melakukan kegiatan tanam. Pada akhir Januari petani sudah bisa panen sawi. Jadi, petani bisa mendapat pemasukan. Pada awal maret petani bisa panen kol bunga, dan locang dan seterusnya.

Hal serupa dikatakan oleh Srijono, warga Desa Tegalmulyo, Kemalang. Ia mencontohkan untuk lahan seluas 1000 M2, untuk pengolahan lahan petani mengeluarkan modal 500 ribu, pupuk kandang 200 ribu, plastik mulsa 400 ribu, bibit 650 ribu, obat-obatan 300 ribu, dan ongkos perawatan 300 ribu, jadi total pengeluaran petani sebesar 2,35 juta. Sementara penghasilan petani dari kol bunga sebesar 1 juta, sawi sebesar 1,2 juta, loncang sebesar 1,8 juta, dan dari cabe sebesar 2,5 juta. Jadi, penghasilan petani sebesar 7,5 juta. Petani juga mendapat tambahan dari sisa-sisa panen yang dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari.

"Hambatan utama petani adalah angin musiman, naik-turun harga pasaran, dan serangan kera. Idealnya ada komunikasi antara petani, kelompok tani, dan pemerintah untuk mencari jalan keluar yang terbaik," lanjunya. Srijono optimis dalam harga yang anjlog pun dengan sistem tumpangsari petani tidak rugi.

http://paryo.multiply.com/photos/album/13/Pertanian_Tumpangsari

2. Tumpang gilir (Multiple Cropping), dilakukan secara beruntun sepanjang tahun dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain untuk mendapat keuntungan maksimum. Contoh: jagung muda, padi gogo, kacang tanah, ubi kayu.










3. Tanaman Bersisipan (Relay Cropping): pola tanam dengan cara menyisipkan satu atau beberapa jenis tanaman selain tanaman pokok (dalam waktu tanam yang bersamaan atau waktu yang berbeda). Contoh: jagung disisipkan kacang tanah, waktu jagung menjelang panen disisipkan kacang panjang.
Pemanfaatan lahan tambang belum sepenuhnya dioptimalkan oleh masyarakat Bangka Belitung khususnya dan Indonesia umumnya baik pada sektor pertanian, peternakan, perikanan maupun kawasan taman wisata, edukasi dll. Kalau kita flash back sebelumnya baru dominan hanya berkutik seputar penghijauan lingkungan, rehabilitasi lahan, dan konservasi alam sementara sedikit sekali riset dan aplikasi teknologi kearah ini. Fokus kita tidak lain adalah perubahan ”mindsets” masyarakat dalam pemanfaatan lahan dengan menggunakan teknologi “Drip Irrigation System (DIS)” atau sistem irigasi tetes terutama sektor budidaya tanaman holtikoltura dan buah-buahan (sayuran, padi, jagung, pepaya, tomat, kacang-kacangan, semangka, melon dll.) yang rakus akan air, jika tidak terpenuhi kebutuhan air maka dalam waktu singkat pun dapat menurunkan produktivitas hasil. Alternatifnya tiada lain harus memenuhi suplai air dan mineral secara seimbang dan seefesien mungkin terutama pada musim kering atau kemarau pajang dan semakin berkurangnya kualitas dan kuantitas lahan petanian kita.

Lantas terobosan baru apa yang dapat menjawab kegundahan petani kita dalam memanfaatkan lahan tambang yang manjadi lahan tidur dengan jumlahnya diperkirakan sekitar 10.000 ha tersebut ?. Sistem irigasi adalah salah satu terobosan yang bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi dalam aplikasi dan suplai air yang diletakkan di zona perakaran tanaman holtikultura. Aplikasi teknologi "DIS atau SIT" ini sudah dimanfaatkan sejak lama di negara-negara pertanian modern beriklim tropis dan subtropis seperti India, Brasil, Israel, Cina, Filipina, Thailand dsb dalam teknologi pertanian berskala besar dan modern.
Kata Kunci : Sistem irigasi tetes, Drip irrigation system (DIS), teknologi, holtikultura, lahan pasca tambang.
Usaha pemanfaatan dan pemerdayaan lahan pasca tambang untuk meningkatkan produksi dan value sehingga mampu meningkatkan "income" dan memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat memang membutuhkan konsep pemikiran yang cemerlang terutama dapat beradaptasi terhadap perkembangan sains, teknologi dan industri masa kini secara kontinu. Sehingga mampu bersaing pada level global bukannya memerdayakan teknologi “kadarluarsa” alias lapuk ditelan zaman sehingga lamban produksi dan hasil minim.
Menurut Sani (2009) semua itu terlontar karena setiap pendatang melihat dari udara sungguh banyak danau-danau di negeri ini, apalagi dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan di lapangan oleh PT. Timah tahun 2003, jumlah kolong pasca penambangan di Babel sebanyak 887 kolong dengan luas 1.712,65 hektar, yang terdiri dari 544 kolong dengan luas 1.035,51 hektar di Pulau Bangka dan sebanyak 343 kolong dengan luas 677,14 hektar di Pulau Belitung.
Kalau kita aplikasi teknologi pertanian di negara Israel ada 215.000 hektar lahan yang dikhususkan untuk bidang tanaman, 156.000 di antaranya adalah tanaman musim dingin seperti gandum, silage, jerami, kacang-kacangan, dan minyak safflower. 60.000 hektar yang ditanami dengan tanaman musim panas seperti kapas, bunga matahari, kacang buncis, kacang hijau, kacang-kacangan, jagung, kacang tanah dan semangka. Hampir seluruh tanaman kapas dll sekitar 28.570 hektar menggunakan sistem irigasi tetes dengan peralatan buatan Israel sendiri, yaitu serangkaian metode irigasi yang dirancang untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya air yang terbatas (http://library.thinkquest.org).

Produktivitas air mengacu kepada berapa banyak panen yang diproduksi untuk input air sejumlah tertentu (Ardiansyah, 2009). Secara umum mekanisme aplikasi DIS adalah air dialirkan dari sumber air baik dari aliran pipa secara alami (air pegunungan, perbukiatan) maupun menggunakan mesin pompa kemudian ditampung didalam bak penampungan yang berada didekat lahan. Aliran dari sumber air dialirkan melalui pipa utama (main line atau submain line) yang menggunakan pipa PVC dengan ukuran disesuaikan kebutuhan menuju bak penampungan (tangki air, drum dsb) kemudian baru diteruskan ke pipa lateral (pipa emitter ) yang terbuat dari polyethylene atau pipa PE. Kemudian kontrol debit air dapat secara manual atau secara otomatis untuk pengujian kenerja sistem irigasi sehingga tingkat keseragaman tetesan untuk setiap tanaman
Studi yang dilakukan oleh Rockström et al. (2009 ; Ardiansyah, 2009) membuktikan bahwa pengelolaan green water yang tepat akan menjadi basis baru bagi revolusi hijau. Menurut hasil penelitian Prabowo et al. (2004) pola pengoperasian irigasi tetes (drip) dan curah (sprinkler) merupakan suatu pola pengoperasian irigasi air tanah yang efektif dan efesien digunakan sebagai irigasi konjungtive, yaitu kombinasi antara irigasi permukaan dan air tanah yang dioperasikan secara terpadu.

Selanjutnya faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keseragaman tersebut antara lain adalah : (1) kondisi filter air, (2) kondisi lubang emitter yang tersumbat oleh tanah, (3) perubahan keofesien gesek pada pipa lateral karena tumbuhnya lumut dsb (Sinar Tani edisi 23-29/8/2006). Pendapat Anderson (1999) bahwa kepala semprot konvensional hanya menyampaikan 55-65 persen dari air ke tanah; sisanya atau menguap keudara terbawa angin melaui transpirasi, evaporasi, evapotranspirasi, tergantung pada kondisi cuaca. Sebaliknya, irigasi tetes adalah sampai dengan 95 persen efisien. Perbedaan dalam meningkatkan efisiensi ketika Anda mempertimbangkan spasi luas penanaman, atau wilayah yang berdekatan dengan pagar atau trotoar. Tak banyak gunanya penyiraman pupuk dan hardscape, khususnya ketika air langka.

METODOLOGI

Dalam perancangan sistem irigasi tetes banyak pertimbangan disain yang harus diperlukan adalah : kondisi iklim, tekstur dan struktur tanah, jenis tanaman, kualitas dan kuantitas sumber air. Tahap pertama adalah melakukan perhitungan kebutuhan air tanaman berdasarkan iklim yang ada. Tahap selanjutnya adalah melakukan seleksi komponen komponen sistem irigasi tetes yang akan dibuat berdasarkan perhitungan kebutuhan air tanaman kemudian dirancang suatu jadwal tanam yang tepat.
Perancangan ini meliputi perancangan layout jaringan perpipaan beserta pompa air, perancangan kalender tanam dan pola tanam, perhitungan kebutuhan air irigasi pada tingkat tanaman (modulus irigasi), perhitungan maksimum internal irigasi, perhitungan maksimum lama penyiraman, perhitungan kebutuhan debit dan daya pompa untuk operasional sistem tersebut. Dalam perhitungan Reference Crop Evapotranspiration (ETO) dengan menggunakan metode Blaney-Criddle. Untuk mengetahui jarak optimal penempatan pompa air untuk tujuan irigasi sistem tetes pada sumur pompa yang satu dengan yang lainnya pada luasan lahan yang sama, digunakan pendekatan persamaan aliran air kedalam sumur dengan kondisi aliran air yang tetap pada aquifer phreatic dan semi-tertekan (ILRI, 1983 ; Tribowo et al. 2008).

Pada prinsipnya untuk teknis budidaya tidak jauh berbeda dengan budidaya dilahan biasanya, hanya saja adanya penambahan sedikit perlakuan terutama pengapuran dan pemupukan dsb. Akan tetapi lahan pasca tambang untuk suhu lebih tinggi, pH rendah rata-rata <5> 90 %, kebutuhan benih disesuaikan, sebelum ditanam benih alangkah baiknya direndam dulu dalam POC NASA (dosis 2-4 cc/ltr air semalam atau air aquades maksimal 6 jam.
2. Pengolahan lahan, lahan dibersihkan dari sisa tanaman sebelumnya, sisa tanaman yang cukup banyak dibakar, abunya dikembalikan kedalam tanah, kemudian dicangkol dan diolah dengan bajak dengan traktor.
3. Pengapuran, kemudian tanah diolah dengan pemberian kapur memakai Dolomit (CaMg(CO3)2) untuk menaikkan pH tanah sesuai kondisi normal antara 6-7 untuk adaptasi tanaman.

4. Pemupukan, dilakukan sebelum dan sesudah penanaman biasanya seperti pengapuran, kompos, pupuk kandang, Urea, SP-18 (dulu SP-36), KCl dan lainnya. Pupuk makro dan mikro dapat diaplikasi melalui sistem irigasi saat penyiraman tanaman dilakukan pada penyiraman baik pagi maupun sore hari yang disuaikan dengan dosis dan waktu tepat pemupukan (bila dasar butiran dapat dilakukan perendaman agar menjadi cair yang disesuaikan dosis.

5. Teknik Penanaman, penentuan pola tanaman yang bisa diterapkan menurut Kusanggara (2008), yaitu : (1) tumpang sari (intercropping) : dengan melakukan penanaman lebih dari 1 tanaman (umur sama atau berbeda), contoh: jagung dan kedelai dsb, (2) tumpang gilir (multple cropping) : dilakukan secara beruntun sepanjang tahun dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain untuk mendapatkan keuntungan maksimum, contoh : jagung muda, padi gogo, kedelai dan kacang tanah dll., (3) tanaman bersisipan (relay cropping) : dengan menyisipkan satu atau beberapa jenis tanaman selain tanaman pokok (dalam waktu tanam yang bersamaan atau waktu yang berbeda, contoh : jagung disisipkan dengan kacang tanah, (4) tanaman khusus hanya satu jenis saja untuk meningkatkan produksi.

6. Lubang tanam dan cara tanam dsb., ditugal dengan kedalaman 3-5 cm dan jarak tanam disesuaikan dengan tanaman, penyulaman bibit yang gagal tumbuh, penyiangan gulma, pembumbuan, pengairan dan penyiraman dengan sistem irigasi tetes serta pengendalian hama dan penyakit dapat dilakukan secara alami maupun dengan pestisida.
Pola aplikasi Drip Irrigation System pada tanaman baik dilahan normal maupun pasca tambang bila dilaksanakan secara berlanjut dapat meningkatkan nilai tambah ekonomi dan produksi serta efesiensi biaya pupuk, pengolahan tanah, tenaga kerja proses budidaya, dll. Hasil panen yang sama jika diperoleh dengan input air yang lebih sedikit dari biasanya bisa dikatakan meningkatkan produktivitas air. Hal ini dilakukan dengan menginventarisasi dan memanfaatkan lahan bekas tambang secara efektif. Terakhir penigkatan produktivitas air dalam suatu sistem irigasi tetes secara konjungtif pastinya perlu dukungan dan sinergi lintas pengetahuan fisiologi tanaman, agroteknologi dan keteknikan pertanian. Riset mengenai pola ini masih terus dikembangkan. Para peneliti masih terus mencoba mencari skenario-skenario pengelolaan lahan, air dan mengembangkan teknologi- teknologi yang dapat diterapkan di lapangan dengan mudah.

Berikut kita melihat kondisi tanaman holtikultura yang bisa ditanam dilahan pasca tambang setelah banyak melakukan penelitian dan perlakuan untuk mendapatkan hasil dan produktivitas maksimal.



Tanaman Holtikultura yang bisa ditanam dilahan pasca tambang

SELAMAT MENCOBA ...................... KALAU MAU PASTI BISA
http://www.ubb.ac.id/menulengkap


4 Tanaman Campuran (Mixed Cropping): penanaman terdiri atas beberapa tanaman dan tumbuh tanpa diatur jarak tanam maupun larikannya, semua tercampur jadi satu Lahan efisien, tetapi riskan terhadap ancaman hama dan penyakit. Contoh: tanaman campuran seperti jagung, kedelai, ubi kayu.